DILEMA GAMBUT: Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Perbaikan Lingkungan
Pertumbuhan ekonomi saat
ini menjadi tolok ukur keberhasilan suatu negara, termasuk Indonesia. Berbagai
upaya dilakukan untuk pencapaian tersebut, salah satunya dengan mengolah tanah
gambut menjadi lahan perkebunan sawit. Tanah gambut yang semula tidak produktif
untuk tanaman budidaya (disebabkan tingginya kadar asam dan kadar air pada
tanah gambut) dapat menjadi lahan yang produktif dan bernilai ekonomis jika ada
pengaturan tinggi muka air pada tanah gambut. Menteri Pertanian mengatur tinggi
muka air pada lahan gambut dalam Peraturan Menteri No: 14 tahun 2009 tentang Pedoman
Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit. Dalam aturan tersebut, tinggi
muka air untuk lahan gambut adalah 0,6 – 0,8 (nol koma enam hingga nol koma
delapan) meter dari permukaan lahan gambut.
Dengan berbekal aturan
tersebut, korporasi yang memiliki lahan konsesi perkebunan yang luas pada lahan
gambut kemudian tidak segan mengatur tinggi muka air pada lahan gambut dengan
membuat kanal-kanal perusahaan. Keuntungan ekonomi memang menjadi fakta yang
tidak terbantahkan, bahkan saat ini sektor perkebunan menghasilkan devisa
dengan sumbangan terbesar pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian mengungkapkan bahwa sumbangan sektor
perkebunan terhadap devisa negara mencapai Rp. 429 Triliun dan sumbangan
terbesar berasal dari perkebunan sawit yang mencapai Rp. 260 Triliun (2016).
Dibalik euforia
keberhasilan ekonomi pada sektor perkebunan dan khususnya perkebunan sawit,
kerusakan lingkungan menjadi harga yang harus dibayar atas keinginan untuk
terus berproduksi dan mengekploitasi lingkungan khususnya tanah gambut. Peraturan
Menteri Pertanian yang mengatur tinggi muka
air pada lahan gambut dan diimplementasikan pada lahan perkebunan sawit
menyebabkan lahan gambut rawan untuk mengalami kekeringan dan mudah terbakar. Fakta
tesebut sejalan dengan Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2016, yang mana pada
pasal 23 ayat 3 menyebutkan bahwa ekosistem gambut dengan fungsi budidaya
dinyatakan rusak apabila muka air tanah di lahan Gambut lebih dari 0,4 (nol
koma empat) meter.
Dari
Peraturan Pemerintah tersebut jelas terlihat bahwa aturan dari Menteri
Pertanian yang mengatur tinggi muka air pada lahan gambut justru bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem
Gambut. Hal
tersebut kemudian berimplikasi pada kerusakan lingkungan yang tidak terkendali,
misalnya kebakaran lahan dan hutan yang kerap terjadi di Indonesia. Kerusakan
dan kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran pada bulan Juli-Oktober 2015
lalu saja mencapai Rp. 221 Triliun, belum ditambah dengan kerugian di sektor
lain seperti pendidikan yang terpaksa harus diliburkan dibeberapa wilayah yang
mengalami kondisi darurat asap, berbagai penyakit yang menyerang penduduk
akibat polusi udara dan musnahnya berbagai jenis flora dan fauna akibat
kebakaran yang tidak terkenali.
Badan Restorasi
Gambut mencatat terdapat setidaknya 2,7 juta Ha lahan gambut yang menjadi
wilayah prioritas restorasi pada tahun 2016-2020 dan 2,3 juta Ha diantaranya
adalah lahan gambut yang ada kawasan budidaya ataupun kawasan yang telah berubah
menjadi lahan perkebunan. Jika menggunakan analisis biaya manfaat, Pemerintah
Indonesia sebenarnya sedang mengalami kerugian yang justru lebih besar
dibandingkan manfaat yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut.
Tidak berhenti pada kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran lahan,
deforestrasi hutan dan degradasi lahan gambut juga menimbulkan kerusakan
lingkungan, salah satunya adalah emisi karbon yang berlebihan dan tidak
terkendali sehingga terjadi pemanasan global dengan retang kenaikan 8-10˚
Celsius. Permasalahan lingkungan lainnya adalah gambut yang terbakar juga akan
mengalami subsidensi yang menyebabkan terjadinya pemadatan gambut. Dengan
kondisi ini gambut tidak dapat berfungsi sebagai penyimpan air sehingga
menyebabkan terjadinya banjir pada musim hujan, dan sebaliknya gambut akan
kering dan rawan terbakar pada musim kemarau.
Untuk
mengatasi berbagai permasalahan lingkungan khususnya pada tanah gambut, pertumbuhan
ekonomi seharusnya tidak menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan suatu negara.
Lingkungan seharusnya menjadi salah faktor yang harus dijaga keseimbangannya
sebagai penentu keberhasilan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Keinginan untuk terus mengekploitasi lingkungan sudah saatnya dihentikan dan
menggantinya menjadi perilaku yang lebih arif untuk mengelolanya untuk
mendapatkan keuntungan secukupnya. Hal lain yang juga perlu dibenahi adalah sistem
pemerintahan, pemangku jabatan yang menciptakan produk kebijakan publik harus
saling terkoordinasi agar tidak menghasilkan kebijakan yang saling memakan satu
sama lain. Prinsip
ekonomi memang penting untuk dipertimbangkan dalam perumusan suatu kebijakan,
namun keberlangsungan lingkungan hidup untuk generasi berikutnya seharusnya
tetap menjadi faktor penentu utama dalam menentukan kebijakan khususnya
kebijakan lingkungan.
PENULIS: Putri Adillya (Mahasiswa Pascasarjana Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada)
Tidak ada komentar