Merajut Asa untuk Gajah dan Tesso Nilo
Tesso Nilo, Rumah Para Gajah yang
Semakin Ciut
Pagi
itu, Taman Nasional Tesso Nilo yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan
Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau terlihat lengang, masih diselimuti oleh
kabut pagi yang menyejukkan. Beberapa mahout
telah bersiap membawa para gajah yang dirawatnya untuk mandi pagi. Rutinitas
mandi pagi merupakan hal yang paling disenangi oleh gajah, salah satunya Imbo.
Imbo, merupakan anak dari Gajah betina Lisa, yang lahir dan besar di Taman
Nasional Tesso Nilo. Imbo bukan satu-satunya gajah yang ada di Taman Nasional
Tesso Nilo. Masih ada 8 gajah lagi yang dibina di Flying Squad, tim mitigasi
konflik gajah-manusia, bentukan WWF Indonesia.
Sejak
2004, Taman Nasional Tesso Nilo telah ditetapkan sebagai habitat konservasi gajah
Sumatera dan memiliki dua kantong gajah yang merupakan kantung gajah terbesar di
Riau. Hasil penelitian LIPI dan WWF Indonesia (2003), melaporkan bahwa
pencacahan pada petak berukuran 1 hektar, ditemukan 360 jenis yang tergolong
dalam 165 marga dan 57 suku dengan rincian jumlah jenis pohon 215 jenis dan
anak pohon 305 jenis. Bahkan Tesso Nilo juga digadang-gadangkan sebagai hutan
yang terkaya keanekaragaman hayati nya di dunia dengan ditemukan nya 218 jenis
tumbuhan vascular di petak seluas 200 m2 oleh Center for
Biodiversity Management dari Australia pada tahun 2001. Dapat disimpulkan bahwa kondisi habitat di
kawasan ini cukup baik dengan penutupan vegetasi lebih dari 90%.
Sementara
untuk fauna, LIPI dan WWF Indonesia (2003) juga melaporkan bahwa kawasan Tesso
Nilo memiliki indeks keanekaragaman mamalia yang tinggi yakni 3,696; dijumpai
23 jenis mamalia dan dicatat sebanyak 34 (16,5% dari 206 jenis mamalia yang
terdapat di Sumatera) jenis dimana 18 jenis berstatus dilindungi serta 16 jenis
termasuk rawan punah menurut IUCN. Selanjutnya tercatat ada 114 jenis burung,
50 jenis ikan, dan 33 jenis herpetofauna.
Namun,
luas tutupan hutan alam di Taman Nasional Tesso Nilo kian menyusut dari waktu
ke waktu. Perambahan liar yang terus terjadi hingga hari ini menyebabkan
kawasan hutan tropis dataran rendah di Sumatera tersebut berada dalam kondisi
kritis. Analisis WWF menyoroti bahwa dari
83 ribu hektar, hutan di Tesso Nilo yang
tersisa saat ini hanya 25% nya saja atau sekitar 20 ribu hektar. Artinya,
perambahan liar terjadi hampir di seluruh wilayah di dalam hutan Tesso Nilo.
Penjarahan
lahan juga banyak dijumpai di kawasan hutan Tesso Nilo. Pelaku penjarahan dan
klaim lahan tidak hanya masyarakat setempat yang kondisi ekonominya terbatas
namun juga pendatang yang membutuhkan lahan untuk memperluas kebun dan
menggantungkan hidupnya. Disamping itu, spekulan tanah dan cukong juga mulai
bermunculan dengan tujuan memperjual-belikan lahan dan membuat kebun sawit. Prof
Hariadi Kartodihardjo dalam harian Antara 5 Maret 2018 mengungkapkan sebanyak
58 pabrik pengolahan (PKS) sawit beroperasi secara ilegal di dalam kawasan
hutan ekosistem Tesso Nilo, Riau. Kondisi lansekap Tesso Nilo yang mengalami
alih fungsi masif telah menyebabkan hilangnya habitat alami gajah sumatera.
Hal itu pula yang menyebabkan
populasi Gajah Sumatera berada di ambang kepunahan. Penelitian yang dilakukan
oleh WWF bersama dengan lembaga Eikjman dan Universitas Riau tahun 2013
menyebutkan bahwa populasi gajah yang tersisa di Riau saat ini hanya berkisar 300-330
ekor dan 147 ekor diantaranya berada di blok Tesso Nilo.
Wishnu Sukmantoro, anggota Forum
Konservasi Gajah Indonesia menyebutkan dalam kurun waktu 2012-2014, kematian
gajah di Tesso Nilo mencapai 20 ekor. “Sebagian besar gajah di sana mati akibat
diracun. Padahal, secara ideal Taman Nasional Tesso Nilo mampu menampung
400-700 ekor gajah”, ungkap Wishnu saat dihubungi.
Kepunahan Gajah mengancam Keanekaragaman Hayati di Tesso Nilo
Gajah Sumatera, salah satu jenis
satwa liar yang paling tertekan oleh perubahan lansekap Tesso Nilo. Kini Gajah
Sumatera telah memasuki kategori kritis, hanya selangkah dari kepunahan. Penyusutan
atau hilangnya habitat satwa besar ini telah memaksa mereka masuk ke kawasan
berpenduduk sehingga memicu konflik manusia dan gajah, yang sering berakhir
dengan kematian gajah dan manusia, kerusakan lahan kebun, tanaman dan harta
benda.
Selain pembalakan liar dan
penjarahan lahan, ancaman lain yang paling nyata terhadap populasi gajah di
Tesso Nilo adalah perburuan. Kakinya
dijerat, kemudian gadingnya diambil. Belum lagi keberadaan gajah yang dianggap
masyarakat sebagai hama bagi tanaman dan kebun milik mereka, membuat laju
kematian gajah semakin cepat dan meningkat. Hal ini jelas mengancam eksistensi
hutan karena komposisi hutan kemungkinan akan berubah ketika jenis hewan
tertentu menghilang, terutama gajah.
Hingga saat ini, banyak
masyarakat yang belum menyadari arti penting keberadaan gajah. Padahal, peranan
gajah dalam suatu habitat sangat diperlukan, karena gajah merupakan umbrella species bagi habitatnya dan
mewakili keragaman hayati di dalam ekosistem yang kompleks tempatnya hidup.
Artinya, konservasi mamalia ini akan membantu mempertahankan keanekaragaman
hayati dan integritas ekologi dalam ekosistemnya, sehingga akhirnya ikut menyelamatkan berbagai
spesies kecil lainnya.
Selain itu, gajah juga memainkan
peran penting dalam penyebaran benih. Benih beberapa tanaman perlu melewati
proses pencernaan gajah dulu sebelum dapat tumbuh. Ahli Ekologi dari WWF
Indonesia, Sunarto menjelaskan bahwa dalam satu hari, gajah mengonsumsi sekitar
150 kg makanan dan 180 liter air dan membutuhkan areal jelajah hingga 20 km
persegi per hari. Biji tanaman dalam kotoran gajah akan tersebar ke seluruh
areal hutan yang dilewatinya dan akhirnya membantu proses regenerasi hutan.
Sunarto
kemudian menambahkan bahwa dalam melakukan upaya konservasi, banyak aspek yang
harus dilihat. “Hutan tidak hanya terdiri dari tumbuhan. Hutan pun juga butuh
penyebar biji, seperti gajah. Jika gajah berkurang, nilai kehati pun lama kelamaan
akan turun. Sebagai hewan yang membutuhkan wilayah jelajah yang luas, kita
tidak boleh menyerah untuk menyelamatkan Tesso Nilo” jelasnya saat dihubungi.
Baru-baru ini, peneliti dari
Thailand (dalam jurnal berjudul Different
megafauna vary in their seed dispersal effectiveness of the megafaunal fruit Platymitra
macrocarpa, 2018) melakukan penelitian untuk mengukur efektivitas
penyebaran benih antara gajah, beruang rusa sambar , dan owa pada buah P. Macrocarpa.
Hasil studinya menyebutkan bahwa gajah adalah penyebar benih yang paling
efektif sebesar 37% dibandingkan hewan
megafauna lainnya. Selanjutnya yang tak kalah penting adalah bahwa hilangnya
hewan-hewan ini dapat secara signifikan mengubah komposisi pohon dan bahkan
kemampuan hutan untuk menyimpan karbon.
Harapan Masa Depan
Situasi
Tesso Nilo saat ini memang kritis. Namun, selimut hutan yang semakin ciut tak
membuat beberapa pihak patah arang untuk menyelamatkan hutan serta gajah yang tersisa. Guna menyelesaikan keruwetan
Tesso Nilo, pemerintah bersama dengan berbagai stakeholder serta TNI Polri saat
ini membentuk program Revitalisasi ekosistem Tesso Nilo (RETN) yang berbasis
masyarakat. Sederhananya, RETN dirancang untuk memulihkan kawasan yang kini
kebun sawit jadi hutan kembali dan merelokasi seluruh warga dalam taman
nasional ke luar kawasan.
Upaya
lain yang telah dilakukan oleh Balai
Taman Nasional Tesso Nilo selaku pengelola kawasan yakni dengan melibatkan para
pihak untuk melakukan ekspedisi Taman Nasional Tesso Nilo setiap tahunnya. Hal
ini bertujuan untuk memperbaharui data dan informasi terkini mengenai
keanekaragaman hayati dan kondisi tutupan hutan di dalamnya.
Tidak
hanya hutan, upaya perlindungan gajah yang ada di Tesso Nilo juga telah dilakukan
oleh WWF dan Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo sejak tahun 2004 dengan
membentuk tim Elephant Flying Squad. Tim ini bertugas melakukan patroli
gabungan serta penggiringan gajah liar yang memasuki kebun masyarakat untuk
kembali ke TNTN sehingga dapat mengurangi konflik antara gajah dan manusia.
Setidaknya, tim Flying Squad terbukti mampu menekan laju kematian gajah akibat
konflik hingga 63,8% - 78,7% sejak tahun
2004-2010.
Meski
berbagai upaya telah dilakukan, kesadaran masyarakat untuk sama-sama menjaga
hutan yang tersisa ini masih menjadi musuh
terbesar. Namun dengan tekad kuat dan langkah-langkah yang nyata, asa
masih dapat dirajut sebelum kehancuran yang lebih parah terjadi.
Penulis : Tantia Shecilia, Pegiat
konservasi di WWF Indonesia Program Sumatera Tengah
Tidak ada komentar