Kondisi Keanekeragaman Hayati Kian Memburuk, Ma(mp)ukah Kita Memperbaikinya?
Tanggal
22 Mei 2018 lalu, dunia baru saja memperingati Hari Keanekaragaman Hayati dengan
mengangkat tema “Celebrating the 25th Year of The Implementation of the
Convention of Biological Diversity”. Sejak tahun 1992, PBB telah menetapkan
tanggal 22 Mei sebagai Hari Keanekaragaman Internasional, sekaligus menandakan
telah selesainya naskah final Convention on Biological Dioversity (CBD).
Hingga
saat ini, berbagai negara di dunia tak pernah absen merayakannya dengan
cara-cara yang unik. Sebagai negara yang menyandang prediket “Megadioversity
Country”, Indonesia pun turut memperingatinya melalui berbagai kegiatan, mulai
dari mengadakan pameran spesimen di lingkungan kampus, kerja bakti di taman
wisata, hingga penanaman pohon.
Namun
yang menjadi pertanyaannya adalah, Mengapa hal ini sangat penting untuk
diperingati?
Ancaman terhadap keanekaragaman
hayati
Indonesia
telah menjadi rumah bagi lebih dari 15% total keanekaragaman hayati yang ada di
dunia. Release data Kementerian Lingkungan Hidup Menurut pada tahun 2014
mengungkapkan bahwa Keanekaragaman Hayati Indonesia menduduki tempat pertama di
dunia dalam kekayaan jenis mamalia (515 jenis, 36 % diantaranya endemik) dan
kekayaan jenis kupu-kupu swallowtail (121 jenis, 44 % di antaranya endemik).
Kemudian menduduki tempat ketiga dalam kekayaan jenis reptil (lebih dari 600
jenis), tempat keempat dalam kekayaan jenis burung (1519 jenis, 28 %
diantaranya endemik), tempat kelima dalam kekayaan jenis amfibi (lebih dari 270
jenis) dan tempat ketujuh dalam kekayaan flora berbunga
Akan
tetapi, hal ini tampaknya tidak akan berlangsung lama lantaran ancaman
eksploitasi yang kian hari terjadi secara masif, mengancam keberlangsungan
keanekaragaman hayati yang tersisa. Hal ini bisa kita lihat dari publikasi yang
ada di berbagai media saat ini. Dikutip dari rilis yang dikeluarkan oleh WWF
Indonesia melalui laporan “Living Planet Report 2016”, selama kurun waktu 40
tahun antara 1970, populasi mamalia, burung reptil, amfibi dan ikan di seluruh
dunia turun sebesar 52%. Tercatat pula 38% satwa liar daratan hilang, 36%
kehidupan laut hilang dan 81% satwa liar air tawar hilang.
Dalam beberapa tahun terakhir, bumi tengah
berjibaku melawan deforestasi yang menjadi momok untuk alam Indonesia. Bahkan
Indonesia hingga saat ini masih tercatat sebagai negara dengan tingkat deforestasi
tertinggi kedua di dunia, yakni dua juta pertahun. (Sumber : Guinness Book of
World Records, 2000).
Merujuk
pada perhitungan Ditjen Planologi KLHK, angka deforestasi Indonesia periode
2014-2015 mencapai 1,09 juta hektar. Analisis WRI pun menemukan bahwa dari
tahun 2000 hingga 2015, hampir 1,5 juta hektar hutan primer yang
dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit serta serat kayu.
Selanjutnya,
deforestasi atau kerusakan hutan menyumbang hampir 25% dari emisi Gas Rumah
Kaca dunia. Jumlah emisi Indonesia terbilang besar; dua miliar ton
karbondioksida per tahun atau 10% dari emisi karbondioksida dunia. Akibatnya,
Indonesia menempati urutan ke tiga pengasil emisi CO2 terbesar di
bawah Amerika Serikat dan China. Kenaikan emisi karbondioksida ini kemudian berbanding
lurus dengan meningkatnya suhu bumi
Jika dibandingkan dengan kondisi periode
1961-1990, kenaikan suhu bumi secara global pada tahun 2016 sebesar 0,83
derajat celsius. Sementara di Indonesia, penemuan National Oceanic and
Atmospheric Agency (NOAA) mengungkapkan bahwa suhu rata-rata permukaan bumi
pada tahun 2016 adalah sekitar 0,45 hingga 0,56 derajat celsius di atas suhu
rata-rata bumi pada periode 1981-2010. Ironisnya lagi, Intergovernmental Panel
on Climate Change (IPCC) PBB meramalkan, pada tahun 2100, suhu bumi meningkat
rata-rata 5,8 derajat celsius. Ramalan terdekat, antara 2030 hingga 2050, suhu
global naik antara 1,50 hingga 4,5 derajat celsius. Fenomena ini biasa dikenal
dengan sebutan pemanasan global
Perlahan namun pasti, pemanasan global telah
menyebabkan perubahan iklim yang signifikan seperti yang terjadi di negara kita
saat ini. Hal ini jelas akan membawa dampak buruk bagi keanekaragaman hayati
mulai dari tingkatan spesies hingga ekosistem dikarenakan masing-masing spesies
memiliki rentang suhu yang berbeda untuk beradaptasi dan bertahan hidup.
Kenaikan suhu bumi akan membuat beberapa jenis spesies berada di luar batas
toleransi suhu maksimumnya sehingga tidak mampu bertahan hidup dan terancam
punah.
Hal ini terbukti dari data yang di release oleh
lokadata, bahwa saat ini Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara
dengan jumlah flora dan fauna terancam punah terbanyak, setelah Ekuador,
Amerika Selatan, dan Madagaskar, Afrika Timur. Miris bukan? Padahal,
keanekaragaman hayati berperan penting untuk membentuk keseimbangan dan
keberlangsungan hidup bumi. Sederhananya, tanpa keanekaragaman hayati, tak akan
ada masa depan.
Jika
kita telisik lebih dalam, sangat jelas bahwa dibalik kehancuran yang telah
dijabarkan di atas, manusia lah yang menjadi dalangnya. Fakta di atas menjadi
bukti bahwa meski berbagai kampanye telah digalakkan, nyatanya hal itu belum
sepenuhnya mampu membuat masyarakat memahami pentingnya keanekeragaman hayati
ini
Di saat pemerintah sibuk melakukan upaya
konservasi satwa liar, masyarakat sebaliknya malah senang membeli cerutu dari
gading gajah, atau bangga mengenakan tas berbahan kulit harimau. Di saat berbagai
LSM lingkungan serta aktivis lingkungan lainnya sibuk menanam seribu pohon,
masyarakat justru sibuk menghabisi hutan. Alih-alih “mengantisipasi”
deforestasi dan perubahan iklim yang jauh di mata, bencana di “depan mata” pun
belum banyak menggugah pemahaman masyarakat bahwa keanekaragaman hayati kita
kian memburuk, bahwa hutan kita sedang di ambang kehancuran.
Pada akhirnya, kemauan kita lah yang menjadi kuncinya. sudah saatnya kita menyadari, bahwa sebenarnya ada masalah besar yang menuntut peran kita, dibalik adanya peringatan Hari Keanekeragaman Hayati ini. Tanyakan kepada diri sendiri, "sudah sejauh mana kita ikut memperbaiki alam ataupun menjaga sumberdaya yang tersisa ini?" Karena bagaimanapun, memperbaiki apa yang telah rusaj serta menjaga apa yang tersisa, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun semua dari kita harus ikut berupaya. Sekecil apapun kontribusi yang kita berikan akan memberikan dampak yang besar untuk alam ini jika dilakukan bersama. (*)
Tidak ada komentar