Deforestasi Meningkat, Harimau Sumatera Jadi Imbasnya
![]() | ||
Bonita, Harimau Sumatera dari Indragiri Hilir. Foto : Tribun Pekanbaru |
Indonesia, khususnya provinsi Riau selama empat bulan terakhir tengah menjadi sorotan dunia. Bonita, Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang berada di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau ini sukses memantik perhatian banyak orang. Namanya mendadak viral lantaran harimau betina ini mengamuk ketika mendapati tempat tinggalnya menjelma menjadi perusahaan perkebunan sawit. akibatnya, dua orang pekerja di tempat tersebut menjadi sasaran kemarahannya. Manusia itu tewas diterkamnya. Padahal sejatinya, harimau ini tidak akan mengganggu manusia jika habitatnya tidak terganggu. Ketika ruang jelajah dan pasokan makannya berkurang, dia merasa terancam, konflik satwa dan manusia pun terjadi.
Deforestasi dan perubahan iklim ancam
Harimau Sumatera serta keanekaragaman hayati lainnya
Bukan
menjadi rahasia umum lagi bahwa saat ini, Indonesia berada di peringkat kedua
sebagai negara yang mengalami deforestasi tertinggi di dunia (Sumber : Guinness
Book of World Records, 2000). Berdasarkan data WWF Indonesia, luas hutan alami
Pulau Kalimantan tersisa 53,9% saja pada 2015 dan hutan alami Pulau Sumatera
hanya tinggal 24% dari luas pulau.
Saat
ini terdapat 13 negara di dunia yang menjadi habitat Harimau, termasuk
Indonesia dengan enam lanskap konservasi harimau. Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh peneliti dari Universitas Minnesota, RESOLVE, Universitas
Stanford, dan World Resources Indonesia (WRI) menunjukkan Lanskap Konservasi
Harimau prioritas di Sumatera telah kehilangan 12,5% hutannya dalam 14 tahun
terakhir, termasuk di Riau. Deforestasi hutan di Riau dalam beberapa tahun terakhir
merupakan terparah di dunia. Tempat tinggal Bonita, Suaka Margasatwa Kerumutan
saat ini hanya tersisa sekitar 93 ribu hektar. Kampar-Kerumutan mengalami
kehilangan tutupan pohon tertinggi, yaitu seluas 3389,5 km2 (42
persen dari total luas wilayahnya).
Analisis
WRI juga menyoroti bahwa lebih dari 12.000 km2 konsesi kelapa sawit
dan Hutan Tanaman Industri berada di Lanskap Konservasi Harimau seluas 16
persen dari total wilayah lanskap keseluruhan. Wilayah konsesi tersebut tumpang
tindih dengan 48% lanskap kerumutan. Hal ini menunjukkan bahwa konversi hutan alami
menjadi perkebunan telah menjadi pemicu utama kehilangan habitat Harimau
Sumatera di Indonesia.
Tindakan
ini tak terlepas dari penguasaan hutan dan lahan yang diberikan seluas-luasnya
kepada korporasi. Padahal, perusahaan HTI seharusnya tidak diperbolehkan
beroperasi di hutan alam. Namun, kebutuhan mereka akan kayu alam sebagai bahan
baku menyebabkan mereka melanggar regulasi yang ada, dengan mengantongi izin
ilegal. Tak hanya HTI, sawit pun menghabisi habitat harimau dengan
pertumbuhannya yang masif.
Kerusakan
habitat ini membuat populasi Harimau Sumatera terus menurun. Menteri LHK, Siti
Nurbaya mengatakan bahwa estimasi populasi Harimau Sumatera di alam liar saat
ini lebih kurang hanya tersisa 604 individu, dan di lembaga konservasi dalam
serta luar negeri sejumlah 383 individu. Berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature), Harimau Sumatera
kini berstatus critically endangered atau
terancam punah.
Padahal,
Harimau Sumatera sebagai salah satu satwa prioritas dalam pengelolaan
keanekaragaman hayati memiliki beberapa nilai penting. Sebagai predator puncak,
keberadaan spesies kharismatik ini mengindikasikan ekosistem yang sehat.
Harimau yang berada di puncak rantai makanan juga berperan mengontrol populasi
satwa mangsa melalui interaksi pemangsaan. Sebagai regulator biologi,
keberadaan populasi harimau menjadi penting sebagai penyeimbang populasi
satwa-satwa lain. Kepunahan Harimau Sumatera jelas memberikan dampak terhadap
keanekaragaman hayati lainnya, dikarenakan Harimau Sumatera juga merupakan
spesies payung karena memiliki daerah jelajah yang luas. Dengan kata lain,
melindungi harimau dapat melindungi bentang alam serta keanekaragaman hayati di
dalamnya.
Selanjutnya,
deforestasi atau kerusakan hutan menyumbang sekitar 15 persen gas yang
memerangkap panas di atmosfer, lebih banyak dari keseluruhan sektor
transportasi. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia, suhu atmosfer bumi
rata-rata dalam setahun naik 1,1 derajat celsius. Jika dibandingkan dengan
kondisi periode 1961-1990, kenaikan suhu bumi secara global pada tahun 2016
sebesar 0,83 derajat celsius. Sementara di Indonesia, penemuan National Oceanic
and Atmospheric Agency (NOAA) menyebutkan bahwa suhu rata-rata permukaan bumi
pada tahun 2016 adalah sekitar 0,45 hingga 0,56 derajat celsius di atas suhu
rata-rata bumi pada periode 1981-2010.
Perlahan
namun pasti, hal ini jelas akan membawa dampak yang besar bagi keanekaragaman
hayati. Mulai dari tingkatan spesies, hingga ekosistem, mengingat masing-masing
spesies memiliki rentang suhu yang berbeda untuk beradaptasi dan bertahan
hidup. Kenaikan suhu bumi akan membuat beberapa jenis spesies berada di luar
batas toleransi suhu maksimumnya sehingga tidak mampu bertahan hidup dan
terancam punah.
Selain
mengancam keberlangsungan makhluk hidup di air seperti penyu, terumbu karang
dan ikan akibat memanasnya suhu bumi, perubahan iklim juga berpengaruh pada
spesies terancam punah di hutan seperti Bonita dan Harimau Sumatera lainnya.
Pasalnya, udara yang terlalu kering dan panas menyebabkan habitat mereka
berpotensi tinggi mengalami kebakaran.
Akibat
deforestasi dan perubahan iklim, bisa dipastikan Indonesia mendapat ancaman hilangnya
keanekaragaman hayati, baik hewan ataupun tumbuhan dari ekosistem dikarenakan
80% keanekaragaman hayati berada di hutan. Melihat permasalahan tersebut, lantas,
masih pantaskah Indonesia menyandang prediket sebagai “megabiodiversity country”?
Mencegah deforestasi, akankah
berhasil?
Hingga
saat ini bumi terus berjuang melawan deforestasi dan perubahan iklim yang terus
menghantui alam dan kehutanan Indonesia. Sudah sepatutnya kita sebagai manusia
tidak lagi menutup mata seolah buta dengan keadaan sekitar. Banyak cara yang
dapat dilakukan untuk menurunkan laju deforestasi. Di sisi pemerintah, perlu
dilakukan klasifikasi ulang terhadap konsesi penebangan hutan dan mencegah
wilayah dikonversi untuk keperluan industri perkebunan. Selain itu, perlu
dilakukan edukasi hingga ke tingkat tapak tentang peran penting keanekaragaman
hayati serta akibat dari deforestasi. Di sisi penegakan hukum, diperlukan hukum
yang setimpal bagi pelaku kejahatan hutan. Sementara di sisi konsumen, yang
dalam hal ini adalah kita, wajib untuk memilih dan teliti ketika membeli produk
berbahan kelapa sawit. Saat ini telah dikembangkan produk berbahan sawit yang
ramah lingkungan, yang ditandai dengan label RSPO di kemasannya. Cara lainnya
adalah dengan melakukan budidaya yang ramah lingkungan serta mencintai alam
dengan tidak merusaknya.
Akankah langkah-langkah di atas
berhasil mencegah deforestasi? Jawabannya ada pada kita. Upaya reforestasi dan
konservasi tidak akan berhasil jika hanya dilakukan sendiri. semua pihak harus
ikut terlibat dan saling bersinergi di setiap aspek pembangunan hutan. Karena bagaimanapun,
perubahan tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, namun pihak industri
maupun masyarakat memiliki tanggungjawab untuk keberlangsungan hutan, satwa
liar, alam kita. Langkah sekecil apapun jika dilakukan bersama akan memberikan
dampak yang besar bagi keberlangsungan alam kita. (*)
Penulis : Tantia Shecilia
Tidak ada komentar