Mimpi langit biru 2: Catatan Kebakaran Hutan dan Lahan di Bukit Batu Tahun 2011 – 2017 dan Upaya Penanganannya
Mimpi langit
biru 2: Catatan Kebakaran hutan dan lahan di Bukit Batu tahun 2011 – 2017 dan
upaya penanganannya
Oleh
Wishnu Sukmantoro1, Samsul Qamar2, Heri Irawan3,
Tantia Shecilia4, Virta Ihsanul M. Jati5
1,2,3
-5 WWF Indonesia & 4. Universitas Riau
Pendahuluan
Bukit Batu merupakan salah satu wilayah di Kabupaten
Bengkalis, Propinsi Riau. Dalam konteks ekologi, wilayah ini merupakan
kawasan pesisir dimana 100% kawasan ini
adalah ekosistem gambut. Saat ini, perubahan ekosistem terjadi besar-besaran di
wilayah ini sehingga banyak kawasan gambut beralih fungsi menjadi pemukiman,
infrastruktur jalan, perkebunan, hutan tanaman industri, pertanian monokultur
dan hutan rakyat seperti karet
Wilayah Bukit Batu saat ini dibagi menjadi
dua kecamatan yaitu Kecamatan Bukit Batu dan Bandar Laksamana dan luas total
wilayah ini adalah 1.128 km2. Kawasan ini terdiri atas 14 desa dan
dua kelurahan dan menjadi pusat
pertumbuhan kabupaten karena wilayah ini menjadi kawasan pelabuhan bagi
Kabupaten dan Propinsi untuk penghubung pulau Bengkalis.
WIlayah Bukit batu merupakan salah satu
kawasan penting sebagai pusat titik api kebakaran di Riau. Catatan kebakaran
sejak tahun 2011 sampai tahun 2017 adalah 3847 titik api menurut Lance MODIS
(brightness ≥ 300 dan confidence ≥ 30) atau 528 titik api melalui VIIRS sejak
tahun 2016 di 10 desa wilayah Bukit Batu. Catatan kebakaran ini menjadi salah
satu tertinggi dari seluruh Kecamatan di wilayah Bengkalis.
Meskipun demikian, catatan titik api ini secara
umum menurun sejak tahun 2015 sampai tahun 2017. Pada, bulan Januari – 7 juli
2017, titik api di Bukit Batu untuk target 10 desa intervensi WWF Indonesia,
UNRI, Jikalahari, YMI dan Walhi Riau adalah 31 titik api. Puncak jumlah titik
api di Bukit Batu tahun 2017 hanya mencapai 9 titik api di bulan Mei. Konsentrasi
titik api pada bulan Januari – Juli 2017 terkonsentrasi di desa Tenggayun dan
Bukit Batu.
Gambar 1 (a dan b). sebaran titik api (a) dan pola konsentrasi
titik api (b) sejak tahun 2011 – 2017 melalui Lance MODIS dan VIIRS di Bukit
Batu. Bagian c. sebaran titik api 1 januari 2017 – 7 Juli 2017 di lokasi yang
sama.
Masalah kebakaran
Permasalahan munculnya kebakaran hutan dan lahan di lokasi
tersebut adalah konversi lahan gambut dan tata cara pembukaan lahan yang
umumnya dipakai dengan cara dibakar. Konversi lahan ini melibatkan gambut dalam
(kubah gambut dalam) dan sampai sekitar pesisir pantai (gambut dangkal).
Hampir 100% seluruh kawasan bukit batu di konversi menjadi hutan tanaman industri, perkebunan, pertanian, pemukiman, sarana infrastruktur, hanya menyisakan ruang kawasan lindung yaitu Suaka Margasatwa Bukit Batu dan Giam Siak (bagian selatan) menjadi ruang “hijau”. Tata cara konversi lahan mengeringkan kubah gambut misalnya dengan pembuatan kanal oleh perusahaan ataupun masyarakat, pembakaan lahan untuk tujuan murah biaya pembukaan lahan di lahan gambut. Gambut yang kering memudahkan lokasi ini mudah terbakar.
Gambut ombrogen lebih sering dijumpai, meski semua gambut ombrogen bermula sebagai gambut topogen. Gambut ombrogen lebih tua umurnya, pada umumnya lapisan gambutnya lebih tebal, hingga kedalaman 20 m, dan permukaan tanah gambutnya lebih tinggi daripada permukaan sungai di dekatnya. Kandungan unsur hara tanah sangat terbatas, hanya bersumber dari lapisan gambut dan dari air hujan, sehingga tidak subur. Sungai-sungai atau drainase yang keluar dari wilayah gambut ombrogen mengalirkan air yang keasamannya tinggi (pH 3,0-4,5) (Anwar, J. dkk. 1984).
Saat ini, problem terbesar gabut adalah tata kelola air karena banyak kanal di dalam wilayah ini termasuk water sharing atau pembagian air. Isu blokade air menjadi isu penting di daerah ini karena blokade air dapat mengeringkan sebagian wilayah Bukit Batu dan memicu kebakaran. Blokade air juga mempersulit tim -tim pemadaman dalam memperoleh air dari gambut.
Hampir 100% seluruh kawasan bukit batu di konversi menjadi hutan tanaman industri, perkebunan, pertanian, pemukiman, sarana infrastruktur, hanya menyisakan ruang kawasan lindung yaitu Suaka Margasatwa Bukit Batu dan Giam Siak (bagian selatan) menjadi ruang “hijau”. Tata cara konversi lahan mengeringkan kubah gambut misalnya dengan pembuatan kanal oleh perusahaan ataupun masyarakat, pembakaan lahan untuk tujuan murah biaya pembukaan lahan di lahan gambut. Gambut yang kering memudahkan lokasi ini mudah terbakar.
Gambut ombrogen lebih sering dijumpai, meski semua gambut ombrogen bermula sebagai gambut topogen. Gambut ombrogen lebih tua umurnya, pada umumnya lapisan gambutnya lebih tebal, hingga kedalaman 20 m, dan permukaan tanah gambutnya lebih tinggi daripada permukaan sungai di dekatnya. Kandungan unsur hara tanah sangat terbatas, hanya bersumber dari lapisan gambut dan dari air hujan, sehingga tidak subur. Sungai-sungai atau drainase yang keluar dari wilayah gambut ombrogen mengalirkan air yang keasamannya tinggi (pH 3,0-4,5) (Anwar, J. dkk. 1984).
Saat ini, problem terbesar gabut adalah tata kelola air karena banyak kanal di dalam wilayah ini termasuk water sharing atau pembagian air. Isu blokade air menjadi isu penting di daerah ini karena blokade air dapat mengeringkan sebagian wilayah Bukit Batu dan memicu kebakaran. Blokade air juga mempersulit tim -tim pemadaman dalam memperoleh air dari gambut.
Penanggulangan Titik Api
Sejak tahun 2009, beberapa desa di wilayah Bukit Batu telah
dibangun tim – tim masyarakat penanggulangan kebakaran yang disebut MPA
(Masyarakat Peduli Api). MPA di beberapa tempat misalnya Desa Sepahat kemudian
dikukuhkan dalam peraturan desa untuk pengesahan MPA. Berbagai kegiatan telah dilakukan MPA dalam upaya prefentif dan
pemadaman kebakaran hutan dan lahan, dibantu oleh banyak pihak; Manggala Agni, fire guard dari perusahaan sekitar kawasan,
pemerintah daerah dan berbagai organisasi pendidikan dan NGO. Peningkatan kapasitas MPA dilakukan termasuk melalui kegiatan
patroli keliling bersama militer ataupun dengan tim satuan Manggala Agni
(satuan tugas kebakaran – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalam konteks upaya pencegahan, berbagai upaya telah diinisiasi di
Bukit Batu yaitu dalam penerapan 3 RE; monitoring dan pemadaman kebakaran oleh
MPA, pembuatan sekat kanal di banyak tempat, rehabilitasi lahan dengan bantuan
berbagai pihak. MPA menjadi sarana strategis penggerak seluruh upaya preventif
dan upaya pengendalian kebakaran gambut. MPA mendapatkan tempat khusus sebagai
satuan tugas yang handal.
Desa Tanjung Leban, Sepahat, Tenggayun, Buruk Bakul, Dompas,
Sungai Selari dan desa-desa lain, saat ini telah memiliki satuan tugas MPA yang
bekerja melakukan monitoring dan pemadaman kebakaran. Tim ini dibantu oleh
satuan tugas dari BPBD (Badan penanggulangan Bencana Daerah), Manggala Agni,
militer, kepolisian dan berbagai organisasi lain yang membantu kinerja MPA ini.
Selain itu, banyak desa saat ini membangun sekat kanal, menempatkan sekat kanal pada titik penting dalam meningkatkan tingkat kebasahan gambut akibat pengeringan. Sekat kanal banyak dibangun oleh masyarakat, dibantu pemerintah, NGO atau lembaga donor. Penurunan titik api selain oleh alam, juga dibantu oleh sekat kanal untuk pembasahan gambut dan tim - tim MPA yang tanggap cepat bencana ini.
Tahun ini (2017), masyarakat Bukit Batu dibantu oleh WWF
Indonesia, Universitas Riau, Walhi Riau, Jikalahari dan Yayasan Mitra Insani
didukung oleh Badan restorasi gambut dan Dinas Kehutanan Riau mendorong
peningkatan kinerja MPA dalam aksi preventif dan mitigasi, pembangunan sekat
kanal, revegetasi dan inisiasi paludikultur. Sekurangnya 10 MPA dilibatkan
dalam proses ini, pemeliharaan dan perbaikan 18 sekat kanal, lebih dari 15
sekat kanal baru juga akan dibangun dan rehabilitasi lahan gambut untuk
pemulihan ekosistem gambut.
Referensi
Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam,
A.J.Whitten. 1984. Ekologi
Ekosistem Sumatra. Gadjah Mada Univ. Press. Jogyakarta. Hal
245-251
Tidak ada komentar